Senin, 23 Maret 2009

Kenthongan itu Menyalak Kembali (Part 1)

Minggu, 22 Maret 2009



Kemarin malam aku dibangunkan oleh bunyi-bunyian yang agak tidak lazim terdengar di telinga. Kalo biasanya aku kebangun pagi-pagi gara-gara alarm dari henponku yang bunyinya ringtone lagu “Indonesia Raya” (biasanya abis bangun langsung hormat, graak... gara-gara alarm henponku sangat berbau nasionalis sekali, hehehe...), atau biasanya aku “terpaksa” bangun pagi-pagi gara-gara dirubungin pasukan semut merah yang tampaknya semakin hari semakin cinta ama tubuhku, tapi kemaren malem kejadiannya agak berbeda dari hari-hari biasanya. Terdengar suara “trung-tung-tung.... trung-tung-tung... trung-tung-tung” disertai teriakan “maliiiiinggg!!! Maliiinggg!!! Maliiiiing!!!” dari luar rumahku. Haiyaaah.... rupanya di kampungku lagi ada musibah kemalingan, dan pak Bajuri, petugas ronda malam di kampungku, dengan semangat empat lima-nya berteriak-teriak membangunkan warga lainnya sambil memukul-mukul kenthongan yang ada di pos jaga.


Sebelum membahas kelanjutan dari musibah kemalingan yang terjadi di kampungku semalam, ada baiknya kalau kita membuka kisah hari ini dengan membicarakan masalah kenthongan. Kenapa begitu? Karena kita harus ingat bahwa segala sesuatu yang sebenernya nggak penting itu penting, hal ini disebabkan karena segala sesuatu yang pentingpun sebenernya juga nggak seberapa penting, oleh karena itu, kita harus mementingkan segala sesuatu yang tidak penting agar berubah menjadi hal yang benar-benar penting, dan, menurutku, kenthongan itu termasuk salah satu hal yang nggak penting untuk dibahas sebenernya, oleh karena itulah kita harus membahasnya agar menjadi lebih penting. Hahaha..... bingung toh? Silahkan dilewati sajah paragraf yang satu ini, dan langsung dilanjutkan membaca ke paragraf selanjutnya, karena memang nggak penting sebenernya paragraf yang satu ini.


Kenthongan adalah salah satu alat komunikasi tradisional khas dari Indonesia yang sangat berguna sekali di masanya. Biasanya kenthongan terbuat dari kayu lonjong yang dilubangi tengahnya, dan biasanya digantung di atap. Kalau jaman dulu, kenthongan biasanya ada di setiap rumah-rumah di seluruh pelosok desa, tapi akhir-akhir ini, keberadaan alat ajaib ini semakin langka saja, di masa sekarang, kenthongan biasanya ditaruh di pos ronda kampung, atau di balai desa saja. Alat ini digunakan dengan cara dipukul dengan sebilah alat pemukul, sehingga menghasilkan suara “Trung-tung-tung-tung...” atau semacamnya. Jadi jika anda mendengarkan ada kenthongan yang dipukul trus bunyinya “auuw-auuuwww-auuuww...” maka percayalah, percayalah... kalau itu bukan lah kenthongan, melainkan suara pantat Pak RT yang sedang dipukuli oleh istrinya pake sapu karena ketahuan pulang dari panti pijet plus-plus kemaleman.


Menurut pelajaran yang pernah saya terima dari bangku sekolah dasar, kenthongan berfungsi untuk memberi kabar atau penanda kepada warga kampung tentang apa yang sedang terjadi di kampungnya, misalkan waktu malem-malem ada salah satu warga yang meninggal, maka keluarga dari warga yang meninggal itu akan memukul kenthongan di rumahnya dengan irama-irama tertentu untuk memberitahu warga lainnya, misalnya kayak gini,” trung-tung-tung.. trung-tung-jess.. trung-tung-tung.. trung tung jess.. tung-jess-tung-jess”, nah, warga lain yang mendengar suara dari kenthongan tadi, akan meneruskan pesan tersebut dengan cara menjawab, “ampuuun Dijeeee... leng-geleng, angguk-angguk, leng-geleng, angguk-angguk...” hahaha... yah, pokoknya pada intinya penggunaan dari kenthongan itu kayak gitu, berhubung saya juga sudah lupa tentang jenis-jenis irama kenthongan, maka saya ngasal sajah...


Oke, saya rasa sudah cukup sedikit cerita singkat mengenai sejarah kenthongan. Lumayan memberikan pemahaman yang berarti bagi otak anda, bukan? Hahaha... Sekarang kita kembali ke musibah kemalingan yang terjadi semalem di kampungku. Begitu mendengar teriakan “maliiing....maliiiinggg!!!” Pak Bajuri dan bunyi “trung-tung-tung-tung” dari kenthongan yang dipukulnya, secara spontan aku segera bergegas untuk keluar rumah dan menuju pos ronda kampungku. Begitu membuka pintu ruang tamu, aku merasakan ada sesuatu yang aneh di tubuh bagian bawahku. Wuuuusssss, dinginnya angin malam itu, yang kebetulan juga lagi agak-agak gerimis, terasa sangat menusuk di kulit pahaku, seakan-akan langsung mengenai kulit tanpa dilapisi sehelai kain apapun. Begitu melongok ke bawah, ternyata aku memang belum memakai celana!! Dipandanganku hanya tampak celana dalam berwarna ungu kebiruan, dan paha dempalku yang kecoklatan dan sedikit berbulu... wahahaha... pantes, kok rasanya agak-agak semriwing gimanaaa gitu... aku segera berlari menuju kamarku untuk memakai celana pendek, kemudian bergegas menuju pos satpam, tempat segala kericuhan malam ini berasal. (to be continued...)

1 komentar: